Halaman Delapan : Gagal, lagi?
Masuk
ke sekolah impian, ialah moment yang sangat amat saya nantikan. Namun, hal
tersebut tak dapat saya wujudkan. “Gagal” masuk sekolah menengah pertama yang
dinginkan adalah, kata “gagal” pertama yang saya rasakan dalam hidup. Berharap
untuk tidak ada kegagalan selanjutnya, ternyata alur kehidupan berkata lain,
saya Kembali menemukan kata “gagal” pada saat akan memasuki sekolah menengah atas.
SMA,
mungkin bagi Sebagian orang adalah masa yang paling dinanti kehadirannya. Masa
dimana semua orang akan segera mengakhiri predikatnya sebagai seorang “siswa”.
Tak jarang juga kita temui berbagai narasi-narasi indah bertebaran diluar sana,
yang menggambarkan bagaimana indahnya “dunia” SMA. Namun, hal tersebut tidak
untuk saya pribadi. Saya kecil, selalu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi
jika saya menginjak bangku SMA. Alur kehidupan yang sudah terarah sedari masuk
SD-SMP-SMA membuat saya “khawatir”, apa yang saya akan lakukan setelah tamat
sebagai “siswa”. “Nanti mau ambil jurusan apa?”, “Kalo sudah tamat SMA, mau
kuliah dimana?” pertanyaan-pertanyaan yang terus membayangi saya, bahkan jauh
sebelum saya menginjak bangku SMA. Hal tersebut yang terus mengahantui
kehidupan saya, sampai dimana saya “harus” menjalani kehidupan putih abu
tersebut.
Tiga
tahun, bagi Sebagian orang adalah waktu yang lama, tetapi tidak bagi saya
pribadi. Tahun pertama, tahun kedua, berjalan dengan cepat seakan tidak ada jeda
diantara keduanya. Hingga tiba saatnya, tahun terakhir saya sebagai seorang siswa
hadir. “Takut”, adalah kata yang sering saya utarakan tiap harinya. Meraba-raba
apa yang akan terjadi di tahun ketiga ini, apa saya akan menjadi pribadi yang
ambisius?, atau malah memilih menjadi pribadi yang, “yaudah lah ikut arus aja,
mau kuliah dimana urusan nanti saja”. Kalau boleh jujur, opsi kedua cukup
menggiurkan bagi saya pribadi, gagal masuk sekolah yang dicita-citakan sebanyak
dua kali, membuat saya berpikir, apakah saya masih layak memiliki harapan untuk
bisa masuk ke “kehidupan” yang saya inginkan.
Tidak
menyangkal bahwa kehidupan putih abu yang saya jalani selama 3 tahun isinya
hanya belalar, belajar, dan belajar saja. Orang-orang bahkan menganggap bahwa
saya “pasti” bisa dengan mudah masuk ke perguruan tinggi yang saya inginkan.
Tidak berbohong, pernyataan tersebut cukup membuat hati saya sedikit lega, saya
menganggap bahwa mereka memvalidasi apa yang selama ini saya kerjakan selama di
bangku putih abu. Seakan “kegiatan” yang saya lakukan sepanjang tiga tahun
tersebut tidak akan sia-sia dan “pasti” akan membuahkan hasil.
Hari
dimana saya menentukan alur hidup saya sendiri pun tiba, hari dimana saya
menentukan pilihan, mau jadi apa saya setelah menjadi “siswa” nanti?. Tidak
mudah menentukan pilihan tersebut, berbagai pertimbangan telah saya pikirkan matang-matang,
pendapat orang sekitar tak lupa saya dengarkan untuk memilih pilihan tersebut.
Dengan mantap hati saya memilih “alur” tersebut. Namun, dari segala
pertimbangan yang telah saya pikirkan, ada hal penting yang saya lupakan, hal itu
adalah menyiapkan “hati”, berlapang dada menerima kemungkinan-kemungkinan buruk
yang akan terjadi kedepannya.
“Pasti
lulus kok di jurusan itu”, “masuk ini mah pasti”, “kamu kerjanya belajar mulu
waktu sma, pasti lulus lah!” ya mugkin kalimat-kalimat itulah yang cukup mengelabui
saya, sejenak sebelum penentuan apakah saya masih bisa mengaharapkan keinginan
saya. Tidak sabar, dua kata yang menggambarkan perasaan saya sore itu. Menanti
jerih payah yang saya lakukan selama tiga tahun, ingin membukktikan kepada diri
sendiri bahwa masih terdapat “harapan” setelah mengalami kegagalan-kegagalan
sebelumnya, dan masih banyak perasaan-perasaan yang ingin dibayarkan. Satu jam,
sebelum pengumuman hasil saya masih bisa tertawa. Tiga puluh menit menuju
pengumuman, hati mulai tidak tenang ingin mengerjakan pekerjaan lain selain
menanti berita “Bahagia” ini. Lima menit lagi melihat masa-masa pembuktian,
kamera untuk merekam “momen” ini pun telah saya siapkan tepat di depan wajah
saya. Kamera dinyalakan, jari jemari dengan mahir mengetik nomor peserta, tiba
saatnya saya menginjak “Hasil Pengumuman”.
Merah,
warna yang bahkan saya tidak pernah bayangkan, muncul dengan sangat amat terang.
Diam, selama beberapa detik, mencoba mencerna apa yang terjadi beberapa saat
lalu, mencoba memastikan apakah hasil yang dihadapan sebuah ilusi atau
kenyataan yang harus dihadapi. “Mama ga lolos”, saya ucapkan dengan air mata
yang mengalir tanpa henti. Kalimat yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya,
akan saya ucapkan di hari yang seharusnya saya menjadi manusia terbahagia di
dunia ini. Sungguh jelas dalam ingatan, bagaimana orang tua saya memeluk dan
menenangkan saya, yang tidak menerima dengan kenyataan tersebut.
Gagal
lagi, saya harus menerima kenyataan bahwa, iya, saya gagal lagi. Namun “gagal”
pada saat itu, entah kenapa memberikaan dampak yang cukup signifikan dalam
hidup saya. Trauma mendengar kata “tidak lulus”, mengakibatkan tidak
adanya gairah Kembali dalam menjalani kehidupan, seakan kata “gagal” kemarin
adalah titik akhir dalam hidup dan tidak ada lagi hal-hal yang harus
diperjuangkan selanjutnya. Namun, hidup harus tetap harus berjalan. Saya
mencoba keluar dari kurungan diri, melihat keadaan lingkungan, mengamati, dan meresapi.
Ternyata, dunia masih berjalan normal ya, bumi masih berputar, pohon-pohon
masih rindang, burung-burung masih dengan merdunya berkicau, dan segala hal
yang masih berjalan dengan normal dan tak ada perbedaan. Disana, saya sadar,
bahwa “gagal” akan selalu berdampingan dalam kehidupan, bahwa “gagal” bukan lah
akhir dari perjalanan hidup.
Komentar
Posting Komentar